Kisah Kesederhanaan Paus Fransiskus yang Luar Biasa, Semoga Menjadi Contoh Bagi Kita Semua
Hari itu, Rabu (13/3/2013), para kardinal berbaris di depan Doma Santa Marta, Vatikan, sebuah wisma tamu bagi pendeta yang sedang memiliki urusan dengan Tahta Suci.
Para kardinal itu menanti mobil Sri Paus tiba di hadapan mereka. Maklum, Gereja Katolik Roma baru saja memiliki pemimpin baru mereka: Kardinal Jorge Mario Bergoglio, pria 76 tahun dari Buenos Aires, Argentina, usai pemilihan yang berlangsung lebih dari sehari.
Para kardinal hendak menyambut pemimpin anyar yang memilih nama Fransiskus untuk takhta kepausannya itu. Mobil yang dinanti tak kunjung melintas.
Yang lewat hanya beberapa bus berisi para kardinal lain hingga bus terakhir melambatkan lajunya dan berhenti di depan Doma Santa Marta.
“Coba tebak, siapa yang keluar dari bus itu?” ujar Kardinal Timothy Dolan dari New York kepada wartawan CBS News di sana ketika itu.
“Ternyata Sri Paus. Paus Fransiskus,” sambung Dolan.
“Tampaknya beliau bilang ke sopir bus, ‘Sudah, tidak apa-apa, biarkan aku naik bus dengan mereka semua’,” canda Dolan.
Tak sedikit kardinal yang terkejut dengan teladan kesederhanaan ini. Namun, bagi siapa pun yang mengikuti riwayat hidup Bergoglio sejak belia, sama sekali tak mengagetkan melihatnya naik bus dan menolak diantar dengan mobil khusus Sri Paus.
Mereka yang tahu dirinya sejak dulu akan paham betul mengapa Bergoglio—Paus Fransiskus—mendapuk wisma tamu bernama Doma Santa Marta sebagai tempat tinggalnya walaupun baru saja terpilih sebagai pemimpin spiritual tertinggi umat Katolik sejagat.
Padahal, sejak kepemimpinan Paus Pius X pada awal abad ke-20, setiap Paus dapat menghuni sebuah apartemen penthouse megah yang terdiri dari ratusan kamar dengan pemandangan menghampar di mana mata bebas meneropong ke seluruh penjuru Roma.
Paus Fransiskus merasa cukup dengan penginapan bergaya hotel dengan dua kamar berangkai sederhana di sisi Basilika Santo Petrus itu.
"Dia hanya ingin hidup dalam kesederhanaan,” ujar juru bicara Vatikan saat itu, Federico Lombardi, kepada BBC.
“Dia telah memberi tahu para kardinal bahwa ia akan tinggal bersama mereka untuk waktu yang tidak ditentukan,” lanjut dia.
“Ia menyiapkan makanannya sendiri”
Jauh sebelum Bergoglio mematahkan tradisi tempat tinggal Sri Paus yang telah bertahan ratusan tahun, ia merupakan pastor yang unggul di Buenos Aires.
Ia seorang biarawan Yesuit—sebuah ordo dalam Gereja Katolik Roma yang dikenal dengan kedisiplinan dan tiga kaul sucinya: taat, selibat (tidak kawin), dan melarat.
Di ibu kota Argentina, Bergoglio telah menjalani peran di keuskupan sejak 1992 hingga awal milenium.
Pada 2001, seorang pastor bernama Thomas Rosica hadir dalam suatu pertemuan besar para uskup se-Amerika Selatan. Bergoglio datang dan berdoa cukup lama di baris depannya.
Kesederhanaannya membuat Rosica, yang kelak menjadi penerjemah bahasa Inggrisnya, tak menyadari bahwa dialah Bergoglio yang ketika itu telah berstatus uskup agung.
Belakangan, keduanya semakin akrab. Bergoglio berkisah bahwa ia tinggal di sebuah apartemen sederhana di Argentina, tempatnya mengasuh seorang Yesuit berkebutuhan khusus.
Di sana, Bergoglio juga disebut menyiapkan santapan untuk dirinya sendiri dan pergi ke mana-mana menggunakan bus.
Masih pada tahun 2001, Bergoglio diangkat Sri Paus Yohanes Paulus II sebagai kardinal, sebuah jabatan tinggi di bawah Paus yang hanya dapat diduduki uskup agung terpilih.
Dengan rendah hati, Bergoglio meminta agar undangan dan biaya perjalanannya ke Roma guna merayakan pengangkatannya didonasikan kepada orang-orang miskin.
“Umatku adalah orang-orang miskin dan aku termasuk salah satunya,” demikian salah satu bunyi kutipan paling tersohor dari Paus Fransiskus.
Falsafah ini juga tecermin dari laku sehari-hari Paus Fransiskus. Bukan saja rutin menumpang bus dan subway di Buenos Aires saat masa keuskupannya, kerendahan hatinya pun begitu mencolok hingga tak tampak sebersit pun kemilau emas dari jubah kebesarannya di Takhta Suci.
Pada hari penahbisannya sebagai Paus, Fransiskus bahkan muncul hanya dengan jubah putih polos, dilengkapi dengan salib yang tak neko-neko, tanpa aksesori berlebih.
Ketika berulang tahun ke-78 pada 2015, pria yang telah kehilangan sebelah paru-parunya karena infeksi pada usia remaja itu menghadiahi 400 kantong tidur (sleeping bag) untuk orang-orang miskin di Roma.
Masih pada tahun yang sama, Paus pertama dari kalangan Yesuit itu juga melelang koleksi pribadinya untuk didonasikan kepada kaum miskin: mobil Fiat Panda, koper kulit, topi, sepeda, sampai jam tangan yang pernah ia terima.
Oleh karena itu, tak perlu heran bahwa arloji yang melingkari tangan Paus Fransiskus hanyalah jam tangan plastik berwarna hitam yang harganya masih menginjak bumi. Produk yang ditengarai pabrikan Casio atau Swatch itu belakangan juga dilelang.
Halaman ini tak akan cukup memuat cerita kesederhanaan Paus Fransiskus yang dikisahkan orang-orang lintas benua dan lintas waktu. Boleh jadi, masih ada lebih banyak lagi cerita yang tak terpublikasi; menegaskan bahwa kesahajaannya memang suatu laku hidup, bukan upaya mendandani citra.
Kini, Paus Fransiskus yang sudah menginjak usia 87 tahun barangkali semakin jarang menumpang bus. Faktor keselamatan dan kesehatan membuatnya kian tak memungkinkan—ia juga sering diantar dengan kursi roda.
Namun, kendati hobinya naik bus pelan-pelan digerogoti usia, tetapi laku hidup bersahaja Paus Fransiskus telah begitu keras untuk dipaksa lapuk dalam sangkar emas.
Bagaimana pun, ia memilih nama Fransiskus bukan tanpa alasan. Nama itu ia pinjam dari seorang santo, Fransiskus dari Assisi (1181-1226), Italia, yang kelak menghabiskan sisa usianya untuk hidup zuhud.
Dalam kunjungan apostoliknya ke Asia Pasifik hingga 12 hari ke depan, Paus non-Eropa pertama dalam kurun 1.000 tahun terakhir itu menolak menumpang jet pribadi sebagaimana umum dilakukan tamu-tamu penting. Ia memilih terbang dengan pesawat komersial ITA Airways yang juga mengangkut rombongan dari Vatikan dan para wartawan.
Ia bahkan menyempatkan diri menyapa para pewarta di udara, berbincang-bincang sesaat di sela kabin yang tak begitu lega, juga menerima salam dari para jurnalis yang mewakili negara masing-masing.
Di Indonesia, Sri Paus juga tak memesan kamar hotel. Ia merasa cukup bermalam di Kedutaan Besar Vatikan.
Setibanya ia di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Banten, Selasa (3/9/2024) siang, semua mata terbelalak karena pemimpin religius 1,2 miliar penduduk bumi itu dijemput dengan Toyota Innova.
Bukan mobil seharga miliaran rupiah macam Mercedes-Benz atau Toyota Alphard yang lazim ditunggangi para pejabat di Indonesia membelah kemacetan.
“Beliau memilih menggunakan mobil yang banyak dipakai masyarakat,” kata Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo, kepada Kompas.com pada Senin (2/9/2024).
Sepasang mata pun seakan tak diberi kesempatan berkedip begitu Paus Fransiskus, dari kursi roda, duduk di sisi sopir mobil berkelir putih tersebut. Ia sesekali membuka jendela dan melayangkan tatapannya yang teduh kepada warga di tepi jalan yang selama ini cuma sanggup memandangnya di layar kaca.
Sepasang mata baru bisa berkedip ketika air mata tak disadari telah berlinangan di kelopak. Selamat datang, Jorge Mario Bergoglio; selamat datang, Paus Fransiskus! (kmp)
Posting Komentar