Sejarah Kolam Renang Paradiso, Dulunya Bernama Medansche Zwemvereeniging, Khusus Bangsawan
Kolam Renang Paradiso terletak di Jalan Sisingamangaraja Medan. Tepat di persimpangan Jalan Rahmadsyah. Lokasinya tak begitu jauh dari menara PDAM Tirtanadi.
Suratmin selaku koordinator lapangan mengaku kolam renang itu memang terkenal dengan Kolam Renang Paradiso.
Nama itu, kata Suratmin, diambil dari nama bioskop yang cukup terkenal saat itu. Bioskop itu berada tepat di sebelah kanan kolam renang tersebut. Alhasil, warga saat itu menyebutnya Kolam Renang Paradiso.
Dia menyebut saat ini kolam renang yang dipakai itu hanya dua kolam Satu kolam renang utama untuk orang dewasa, dan satunya lagi kolam renang kecil untuk anak-anak. Dia mengatakan harga tiket masuk ke kolam renang itu hanya Rp 18 ribu untuk semua kalangan mulai dari Senin-Minggu.
Suratmin menyebut bentuk kolam renang itu masih sama dengan dulunya, tidak ada perubahan. Lalu, bagian bangunan berlantai dua dengan atap terbuka itu, katanya, dulu merupakan tempat berjemur para bangsawan saat berenang.
Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Budi Agustono memerkirakan kolam renang itu didirikan di tahun 1924 pada zaman kolonial Belanda.
Dulunya tempat itu diberi nama Medansche Zwemvereeniging yang berarti Perkumpulan Perenang Medan.
Dulu, kolam renang ini tidak bisa dinikmati masyarakat umum seperti sekarang. Hanya kalangan bangsawan atau ras kulit putih yang bisa masuk ke tempat itu. Masyarakat kulit berwarna, seperti pribumi saat itu tidak diperkenankan masuk.
"Itu satu wilayah sangat yang rasis sebenarnya, artinya yang hanya boleh dinikmati oleh kalangan kulit putih Eropa, Belanda. Jadi, pada waktu itu, di luar kulit putih tidak dibenarkan memasuki wilayah itu. Jadi, saya kira itu menunjukkan bahwa kota Medan itu sangat diskriminatif dan rasis pada saat itu masa abad ke-20, sebelum jepang masuk," kata Budi.
Budi mengatakan larangan itu memang terkesan diskriminatif. Namun, hal itulah yang terjadi pada masa itu.
Menurutnya, larangan itu dilakukan untuk mempertahankan identitas budaya dari Eropa dan Belanda itu. Para bangsawan itu enggan budaya mereka tercampur dengan budaya-budaya lokal. Keengganan itulah yang lalu membuat sejumlah lokasi-lokasi di Kota Medan saat itu hanya diperuntukkan untuk ras-ras kulit putih, termasuk Kolam Renang Paradiso itu.
Prof Budi menjelaskan kolam renang itu dulunya banyak dikunjungi saat akhir pekan. Mulai dari pejabat birokrat hingga asisten perkebunan, menghabiskan waktu mereka sambil bersenang-senang di kolam itu.
Kondisi tersebut pun berubah setelah Jepang mengambil alih kekuasaan. Namun, pada masa Jepang juga tidak semua pribumi diperbolehkan masuk ke kolam renang itu, hanya orang-orang pribumi tertentu. Misalnya, pribumi yang dekat dengan penguasa jepang.
Selang beberapa waktu, pada tahun 1950-an mulai banyak pengusaha, militer, atau kaum elit lokal dan keluarganya yang diberi akses masuk ke kolam renang itu. Termasuk dari warga-warga Tionghoa.
Dulu, kata Budi, anak-anak pengusaha Tionghoa cukup senang berenang. Alhasil mereka akan berenang di Kolam Paradiso itu.
Budi menceritakan pada tahun 1970-an, Kolam Renang Paradiso itu juga menjadi tempat berlatih para perenang dan polo air. Bahkan, para atlet PON dulunya juga juga berlatih di tempat itu.
"Pada saat PON diadakan di Medan, itu banyak sekali Kolam Renang Paradiso menjadi tempat latihan perenang Kota Medan. Pada tahun 70-an, perenang ini lah yang menjadi cikal bakal terbentuknya polo air di Kota Medan," ujarnya. (dtk)
Posting Komentar