Pasca Pandemi Covid 19, Kekerasan Pada Anak Menurun
Oleh : Imelda Sibarani, Dokter Madya di Dinas Kesehatan Kota Medan
ANAK adalah harapan bangsa di masa depan. Anak adalah generasi muda penerus bangsa yang mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan suatu bangsa dan negara pada masa yang akan datang.
Oleh karena itu, anak harus dilindungi agar dapat tumbuh secara optimal
baik secara fisik maupun psikologisnya agar mampu menjadi generasi emas untuk membangun Negara menjadi lebih maju.
Namun demikian, di sekeliling kita, kekerasan pada anak kerap kali
terjadi. Anak merupakan salah satu kelompok yang rentan mendapatkan perilaku kekerasan. Kekerasan
terhadap anak tidak hanya terjadi di keluarga yang miskin atau lingkungan yang buruk. Fenomena ini dapat terjadi pada semua kelompok ras, ekonomi, dan budaya. Bahkan pada keluarga yang
terlihat harmonis pun bisa saja terjadi KDRT pada anak.
Berdasarkan data dari Kementrian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), sebagian besar pelaku kekerasan pada anak merupakan anggota keluarga atau orang lain yang dekat dengan keluarga,
yaitu pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas anak tersebut atau yang memiliki kuasa atas
anak tersebut, yang seharusnya dapat dipercaya.
Kekerasan terhadap anak dapat berupa fisik, seksual, psikologis, verbal, eksploitasi, penjualan anak, penelantaran anak, hingga pengabaian pada kesejahteraannya. Bukan hanya di dalam rumah, kekerasan terhadap anak pun berpotensi terjadi di sekolah maupun fasilitas umum.
Kekerasan pada anak tak hanya meninggalkan bekas luka pada tubuh anak, tapi juga emosional, perilaku
menyimpang, dan penurunan fungsi otak. Bahkan kualitas hidup anak yang menjadi korban menurun. Luka itu membekas bahkan hingga korban berusia dewasa.
Bukan hanya korban, anak pun berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ada beberapa hal yang menjadi pemicu anak-anak menjadi pelaku kekerasan. Satu di antaranya pelaku pernah menjadi korban kekerasan. Pengalaman menjadi korban kekerasan membuat seseorang merasa tak berdaya.
Namun, hal itu mengakibatkan korban tak ingin merasa tidak berdaya lagi dan ingin balas dendam.
Gangguan kesehatan mental adalah dampak yang paling umum dialami anak korban kekerasan, merasa frustasi dan mudah marah. Tak jarang, untuk mengatasi rasa tak tenang, anak yang menjadi korban kekerasan tersebut melakukan kekerasan pada orang lain.
Selain Anak, Perempuan juga merupakan kelompok yang rentan mengalami tindak kekerasaan.
Menurut studi WHO (2018), satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik dan seksual, dimana kekerasan oleh pasangan sebagai bentuk pelecehan yang paling banyak
dilaporkan.
Laporan WHO menunjukkan, perempuan yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah, antara lain negara di Kepulauan Oceania seperti Fiji, kawasan Asia selatan dan sub-Sahara Afrika lebih berisiko mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan mereka.
Hampir satu dari empat perempuan (37%) yang tinggal di negara-negara ini menjadi korban kekerasan. Angka kasusnya turun menjadi sekitar satu dari lima perempuan jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Eropa (16-23%) dan Asia Tengah (18%).
Sejalan dengan hasil studi WHO tersebut, berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.
Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menyebutkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat lima kali lipat selama pandemi Covid-19.
Sebelum virus Corona melanda Indonesia, jumlah kekerasan terhadap
anak tercatat sebanyak 2.851 kasus, sedangkan setelah pandemi meningkat menjadi 7190 kasus.
Sementara kekerasan terhadap perempuan meningkat 1.913 kasus menjadi 5.551 kasus.
Gambaran ini sedikit berbeda dengan hasil survei dinamika Komnas Perempuan, selama masa pandemi Covid-19, terjadi penurunan jumlah kasus dikarenakan korban dekat dengan pelaku selama masa pandemi. Korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam, persoalan literasi teknologi, model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi.
Dampak pandemi ini contohnya terlihat di pengadilan agama yang membatasi layanannya dan proses persidangan.
Pada SNPHAR tahun 2018 (sebelum pandemi Covid-19), ditemukan bahwa 2 dari 3 anak laki-laki dan perempuan berusia 13-17 tahun pernah mengalami salah satu kekerasan dalam hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, maupun emosional.
Terjadi penurunan kasus menurut SNPHAR tahun 2021 (sesudah pandemi Covid-19), dimana sekitar satu dari lima anak laki-laki dan satu dari empat
anak perempuan mengalami salah satu kekerasan dalam hidupnya.
Meski terjadi penurunan kasus, tetapi masih memperlihatkan tingginya kejadian kekerasan terhadap anak.
Sejalan dengan SNPHAR tersebut, juga terjadi penurunan kasus kekerasan anak dan perempuan dewasa di Kota Medan sebelum dan sesudah pandemi Covid-19.
Menurut data SIMFONI PPA Kota Medan, terdapat 171 kasus kekerasan pada anak dan perempuan dewasa pada tahun 2018 sedangkan pada tahun 2021 menurun menjadi 100 kasus, bahkan pada tahun 2022 menurun lagi menjadi 38 kasus.
Sebagian besar pelaku merupakan keluarga korban sendiri dan lokasi terjadinya kekerasan tersebut adalah dalam rumah tangga.
Pada tahun 2018, bentuk kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan fisik dan seksual, sedangkan pada tahun 2021 dan 2022 bentuk kekerasan psikis dan penelantaran yang mendominasi.
Walaupun angka yang dilaporkan menurun, haruslah dilakukan penguatan kebijakan perlindungan anak dan perempuan, ketersediaan layanan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan yang mudah diakses korban, dan peningkatan integrasi antar lembaga pemerintah di pusat maupun di daerah dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap anak dan perempuan.(*)
Posting Komentar