Riwayat Kampung Law Ah Yok, Cikal Bakal Kawasan Asia Mega Mas Medan
Di Medan, namanya tak setenar Tjong Yong Hian, Tjong A Fie atau Khoe Tjin Tek. Namun sejatinya ia juga memiliki kontribusi cukup penting dalam membangun kawasan pecinan di Medan, persisnya di sebelah Sukaramai, dulu dikenal sebagai Kampung Law Ah Yok dan terakhir bertransformasi sebagai Asia Mega Mas.
Setengah jam sebelum tengah malam, Medan dikejutkan oleh suara sirine yang menyeramkan. Banyak orang belum tidur saat itu. Witte Societiet, (klub sosial eksklusif khusus untuk orang-orang Eropa) masih sibuk, para penonton baru saja keluar dari gedung bioskop. Di atas, bulan terang bersinar, membuat warga pergi ke tempat sumber api besar menyala, meski nyala api besar itu berasal dari kebakaran di bagian timur kota Medan. Kobaran api itu berasal jauh dari ujung Juliana Straat (kini Jalan Asia), di Pemukiman Cina Law A Yok.
Sebanyak 20 pondok kayu beratap seng, dihuni keluarga Cina miskin, kumuh dan kotor, terbakar. Untung angin bertiup kearah lain, hingga 3 pondok lain selamat. Pondok-pondok itu berada di luar jangkauan Dinas Kebersihan Kota dan Departemen Kesehatan Kotapraja Medan. (Sumatera Pos 16/7/1937).
Sebelumnya, seperempat abad lebih di surat kabar yang sama (Sumatera Post 11/8/1911), muncul sebuah iklan pertunjukan opera bangsawan yang diadakan di gedung Teater Indra Mahnikam. Lakonnya Aladin Lampoe Adjaib, Iklan itu mengingatkan masyarakat bahwa pertunjukan tinggal 2 malam lagi. Disebutkan Teater Indra Mahnikam sudah terkenal di Perak, Kwala Lumpur, Penang dan Sumatera, serta sudah mengantongi 9 medali emas. Dalam iklan itu disebutkan bahwa gedung Teater Indra Mahnikam terletak di Jalan Law Ah Yok.
Dua nukilan dari surat kabar Belanda itu menyebut ada perkampungan orang Tionghoa miskin di luar Medan, namanya Kampung Law Ah Yok. Disebut juga Jalan Law Ah Yok. Siapa sebenarnya sebenarnya Law Ah Yok, sehingga namanya ditabalkan sebagai nama perkampungan dan nama jalan?
Arsitek dan Pengusaha Jasa Konstruksi
Tak banyak dokumen tentang sejarah komunitas Tionghoa Medan menyebut nama Law Ah Yok atau kadang oleh surat kabar Belanda ditulis Lau A Yok. Akibatnya yang berkembang adalah cerita-cerita lisan yang didengar orang secara turun-temurun, dan belum teruji akurasinya.
Dalam buku Komunitas Cina di Medan Dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960, ada catatan kaki menyebut bahwa Law Ah Yok adalah seorang jagoan Cina, preman, yang bertugas menjaga keamanan warga Cina di kota. Daerah tempat ia tinggal bersama anak buahnya lalu dinamakan perkampungan sesuai namanya. Tapi ada juga yang menyebut Law Ah Yok adalah nama tempat yang dialiri sungai kecil yang juga diberi nama Law Ah Yok (Nasrul Hamdani: 2013).
Barangkali gambaran lebih akurat dapat ditemukan dalam beberapa iklan dan berita surat kabar Belanda seperti dimuat Sumatera Pos, Deli Courant dan Het nieuwsblad voor Sumatra yang kini dapat diakses secara online lewat situs Delpher Kranten. Dari koran-koran Belanda itu, Law Ah Yok disebut sebagai seorang arsitek dan kontraktor. Ia juga Presiden Asosiasi Kwong Tong Kong Soh (Sumatera Post 17/11/1924).
Orang-orang Kanton atau kelompok Puntis berasal dari provinsi Kwantung, mayoritas mereka dulu bekerja sebagai tukang, tukang besi, tukang perabot, tukang jahit dan tekstil. Law Ah Yok sendiri mengiklankan diri sebagai arsitek dan kontraktor untuk pembangunan rumah, gudang dan bangunanan lain. Kantornya terletak di Jalan Kling, dekat lintasan balap kuda. Kantornya juga menjual kayu merbau dan damar, papan dan balok, semen dari Penang dan Singapura serta genteng warna merah, hijau dan bong.
Orang Kanton juga dikenal memiliki keahlian beladiri. Postur tubuh mereka umumnya di atas orang-orang Tionghoa dari daerah lain, itu sebabnya mereka dikenal sebagai pendekar kungfu.
Law Ah Yok memiliki beberapa perusahaan sebagai kontraktor dan menjual bahan bangunan. Belakangan, dia juga menjual mobil bekas dan obat Cina. Tetapi perusahaannya tampaknya tidak berjalan dengan baik. Dia melikuidasi mereka pada tahun 1930-an.
Perusahaannya termasuk NV Handel Mij Seew Nam Kongsie, didirikan pada November 1918 di Kesawan dan dinyatakan pailit pada September 1924. NV Handel Mij Lau A Yok di Lau A Yok straat, dinyatakan pailit 24 Mei 1935.
Lau A Yok menyatakan pailit di Medan pada tahun 1923. Dan pada tahun 1930, Dewan Kehakiman di Batavia dan kemudian pindah ke Pontianak.
Kampung Law Ah Yok
Law Ah Yok mendirikan kampung untuk orang Tionghoa miskin pada tahun 1910-an di ujung Julianastraat (ujung timur jalan Asia), dekat Kampung Tempel. Pemukiman Ini berada di pinggir Kotapraja Medan. Jalan tersebut diberi nama Jalan Law Ah Yok dan memiliki pintu gerbang Tiongkok. Kampung Law Ah Yok berbatasan dengan kampung Sukaramai.
Pada saat itu, berdasar Desentralisasi Wet 1905 Kota Medan memiliki dua sistem pemerintahan dan residensi, yakni pemerintah Kotapraja Medan dan pemerintahan otonomi Kesultanan Deli (Swapraja). Warga Kotapraja Medan dibawah pemerintah kolonial Belanda, merupakan golongan masyarakat Eropa, Vremde Oosterlingen (Cina, India dan Arab) dan golongan bumiputera yang berdomisili di kotapraja. (Nasrul Hamdani: 2013).
Sementara pemerintahan swapraja dipimpin Sultan Deli, berkedudukan di Medan, berhak mempertahankan kerajaan, menyelenggarakan pemerintahan otonom, memiliki kawula (rakyat), melanjutkan sistem hukum dan peradilan, mengutip pajak, mengelola kas negeri dan membentuk lembaga kepolisian sendiri. Kawula Sultan terdiri dari warga asli Melayu dan pendatang yang bersedia menjadi Melayu dalam arti menganut Islam, berbahasa Melayu dan tinggal di daerah Melayu.
Penumpukan administrasi ini membuat kota Medan terkotak-kotak akibat garis tapal batas yang berimpitan, garis kotapraja mengimput garis pemerintahan swapraja.
Saling Berhimpiran
Kampung-kampung Swaparaja yang mengelilingi kotapraja Medan adalah Kota Maksum, Sungai Kerah Percut, Sukaramai dan Sukaraja. Kampung Law Ah Yok yang rumah-rumahnya disebut bedengan, atau rumah kayu, berbatasan dengan Sukaramai. Pada tahun 1932, Sultan Deli melarang orang Tionghoa dan Arab untuk tinggal dan membuka usaha di Kota Maksum dan Sukaramai untuk melindungi perdagangan warga mereka.
Warga Tionghoa yang tinggal di kampung Law Ah Yok sendiri dianggap miskin, tuna wisna, dan kerap melakukan kekerasan. Bahkan warga swapraja tidak mau melintasi perbatasan ke Law Ah Yok. Konon katanya kalau seorang pribumi lolos dari Kampung Law Ah Yok, dia keluar telanjang, semuanya akan dirampok.
Kisah-kisah "seram" seperti ini, turun-temurun beredar di kalangan penghuni kampung Law Ah Yok. Bisa benar, bisa juga berlebihan.
"Kalau ada pencuri tertangkap pasti habis diramai-ramain,” ujar Halim Loe (48), yang pendidikan SD-nya dihabiskan di Sukaramai. Di kawasan ini pada tahun 1940-an menurut penuturan yang ia dengar dari ayahnya, terdapat banyak guru kungfu. Tak heran jika banyak warga Tionghoa di sana pandai kungfu. Mungkin dari situlah, sebagian ada yang menyalahgunakan kemampuan beladiri tersebut sebagai samseng.
Beberapa pemuda yang jago kungfu juga bergabung ke klub barongsai. Tahun 1955 semisal ada klub barongsai di Sukaramai yang dipimpin oleh Teh Sie Leng. Klub barongsai ini pernah terlibat perkelahian di Jalan Tjong Yong Hian dengan klub barongsai dari Binjai Kun Sut Yaw Kiauw pimpinan Tan Kok Lim seperti diberitakan Het nieuwsblad voor Sumatra (4/2/1955).
Salah satu guru kungfu yang terkenal adalah A Chin Pek. Namun keberadaan para jagoan kungfu ini juga menjadikan pemukiman warga relatif aman. Bahkan tahun 1998 saat terjadi kerusuhan rasial, para perusuh tak berani masuk pemukiman Sukaramai.
"Dulu yang disebut Kampung Law Ah Yok, sepanjang saya tahu, membentang mulai dari parit busuk Jalan Emas hingga ke jalan AR Hakim, jalan Sutrisno sampai rel kereta api," ujar Halim Loe, saat dihubungi, Kamis (25/3).
Terlepas dari berbagai stigma yang muncul, namun yang jelas di ujung jalan Law Ah Yok, yang dibangun tahun 1911, terdapat bangunan teater Melayu, namanya The Indra Mahnikam Theatre Coy dari FSM (Federated Strait Malaya).
Di gedung ini kerap diadakan pertunjukan teater Melayu Bangsawan Baru. Dalam beberapa iklan di Sumatera Post, antara lain pernah dipentaskan lakon Njai Dasimah (SP 17/07/1911), Hamceford Robert (SP 2/8/1911), Tjau-Tjau Merba Rambai-Rambai (SP 12/8/1911), Saiful Kahar (15/8/1911), Tjahaja Gemeleng (12/7/1911)), Noerdin Parsen (17/8/1911), Romea en Julia (17/7/1911) dan lakon lain.
Pentas Wayang Potehi
Dalam ingatan Halim Loe, sekitar tahun 1980-an, di Kampung Law Ah Yok juga sering diadakan pertunjukan wayang potehi.
Tempatnya di sebuah tanah lapang yang kini sudah berubah jadi sebuah rumah makan.
Karena masih kecil, dan hanya ikut-ikutan diajak orangtua nonton, Halim tak terlalu mengerti isi ceritanya. Malah waktu itu, dia agak takut melihat bonekanya yang bergerak seperti manusia pada umumnya, cuma bentuknya kecil.
Dalam dialek Hokkien wayang potehi menurut Halim Loe dikenal sebagai phoikau. Sore hari tanah lapang itu kerap dimanfaatkan warga untuk olahraga seperti sepakbola.
Hujan Badai Rusak 1.500 Rumah
Kampung Law Ah Yok dan Sukaramai pada bulan Juni 1952 pernah mengalami kerusakan parah akibat badai hujan deras disertai angin kencang. Akibat bencana itu sekitar 1.500 orang harus kehilangan tempat tinggal.
Sebagian besar korban tinggal di Kampung Sukaramai dan sekitarnya. Juga rumah-rumah yang sebagian besar dihuni orang-orang Tionghoa di Kampung Law Ah Yok.
Dilaporkan sudah sekitar 70 orang tewas saat rumahnya roboh. Selain itu, beberapa orang dirawat di rumah sakit karena luka-luka. Konsul China mengunjungi lingkungan perkampungan Cina ini untuk mengorganisasi bantuan dengan membentuk sebuah komite. Walikota Medan, Djaidin Poerba, Baginda Natoras dan Sastrosumi dari dinas provinsi untuk urusan sosial, Djaafar Sldik dan Camat, Tk. Abas, urusan rumah tangga, Sutrisno, dari tiga perwakilan masyarakat Tionghoa akan ikut dalam komite itu. Komite akan menyediakan dapur umum bagi para korban setiap hari. Hujan badai juga menimbulkan kerusakan di Lubuk Pakam dan Bindjei, namun jumlah korban jauh lebih sedikit dibanding di Medan. (Het nieuwsblad voor Sumatra, 13/6/1952).
Kurang lebih 3 dekade kemudian, tahun 1979, perumahan Sukaramai kembali ditimpa bencana besar, yakni kebakaran besar yang meluluhlantakkan sebagian besar rumah yang terbuat dari kayu itu.
Asia Mega Mas
Musibah itu mengundang simpati beberapa tokoh Tionghoa seperti Budiman dan kawan-kawan yang berhasil menghimpun dana untuk membangun puluhan rumah bedeng berukuran 4 x 6. Setiap bedeng dihuni oleh 2 keluarga. Pada tahun 1986 baru pemerintah membangun rumah susun di lokasi bekas kebakaran itu.
Awalnya, sasaran pembangunan rumah susun adalah seluruh lahan bekas kebakaran yang memang merupakan tanah milik Perum Perumnas. Namun kenyataannya, sisa lahan yang ada dibangun oleh pihak swasta, lalu berdirilah Kompleks Ruko Asia Mega Mas. “Awalnya pernah dinamakan Perumahan Sukaramai, namun karena citra negatif pihak pengembang lalu mengubah menjadi Ruko Asia Mega Mas,” tambah Halim Loe.
Sejak itu, memori orang Medan, terhadap nama pemukiman Law Ah Yok pun, sering waktu mulai menghilang. Nama Law Ah Yok pun jarang disebut-sebut lagi.
Posting Komentar