Samsul Tarigan : Kepala Daerah Tidak Etis Rangkap Jabatan Dalam Organisasi
Dewan Penasihat DPC F.SPTI-K.SPSI Kab.Langkat, Samsul Tarigan. |
Dewan Penasihat DPC F.SPTI-K.SPSI Kab.Langkat, Samsul Tarigan, menghimbau agar kepala daerah seperti Bupati/Wabup dan Walikota/Wako, tidak memanfaatkan jabatannya sebagai kepala daerah merangkap jabatan sebagai ketua sebuah organisasi atau yayasan di luar dari kewenangannya.
Dijelaskannya, jika ditinjau pada aspek etik dan kepatutannya, rangkap jabatan tidak dapat dianggap baik karena berpotensi menghadirkan konflik kepentingan.
Lebih dari itu, kata Samsul, konflik kepentingan rentan selalu berujung kepada tindakan dan perbuatan korupsi, mulai korupsi uang/proyek hingga korupsi kebijakan.
"Oleh karena itu, seorang kepala daerah, seperti Terbit Rencana Peranginangin, yang katanya berpendidikan dan menguasai birokrasi pasti memahami hal ini. Maka dengan sendirinya, Terbit Rencana, selaku Bupati Langkat, seharusnya dengan suka rela melepas sejumlah jabatan lain yang sedang diembannya. Apalagi kepengurusan organisasi F.SPTI-K.SPSI yang dipimpinnya tidak memiliki dasar hukum karena jelas-jelas dia sudah dipecat," ujar Samsul.
Di negara Indonesia, yang kita cintai ini, tambahnya, etika dan berprinsip dengan azas kepatutan, pejabat publik tidak pernah bersedia merangkap sebagai Pejabat Kelompok Kepentingan (Interest Group), termasuk asosiasional, apalagi Pejabat Kelompok Penekan (Pressure Group), karena itu tidak etis dan tidak patut.
Menurut tokoh pemuda ini, dalam Pasal 76 huruf c Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dengan jelas menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang menjadi pengurus suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara/daerah atau pengurus yayasan bidang apa pun.
Bahkan, katanya, dalam Pasal 76 (h) juga menyebutkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Demikian juga di dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Didalam Pasal 17 (a) menyebutkan, Pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah. Artinya, Kepala Wilayah serta Wakil Kepala Wilayah dilarang
membuat ketetapan yang dengan spesial memberi keuntungan pribadi, keluarga, kroni, kelompok tersendiri, atau barisan politiknya yang berlawanan dengan ketetapan ketentuan perundang-undangan,
membuat kebijaksanaan yang bikin rugi kebutuhan umum serta menggelisahkan sekumpulan warga atau mendiskriminasikan masyarakat negara serta/atau kelompok warga lain yang berlawanan dengan ketetapan ketentuan perundang-undangan. Begitu juga jika
jadi pengurus satu perusahaan, baik milik swasta atau milik negara/wilayah atau pengurus yayasan bagian apapun. Karena kebijakannya tetap mengarah kepada penyalahgunaan kekuasan yang memberikan keuntungan diri serta/atau bikin rugi wilayah yang dipimpin. Semua itu rentan terindikasi perbuatan melakukan korupsi, kolusi serta nepotisme," terangnya kepada media ini, Jum'at (4/12).(lkt-1)
Posting Komentar