Guru di Masa Pandemi, Dicaci dan (Masih) Dipungli
Menjadi guru bukan hal mudah. Anda diharuskan mengenal karakter setiap anak didik di kelas. Normalnya, dalam satu kelas ada 30 - 40 siswa. Belum lagi jika anda seorang guru bidang studi seperti di SMP dan SMA/SMK. Bisa ratusan karakter anak didik harus diselami.
Jadi Guru Itu Berat
Ada satu kisah humor yang lucu namun miris. Sebut saja namanya Budi. Setamat SMA, ia merantau ke kota untuk mencari kerja. Ia menginap di rumah pamannya yang seorang politikus.
Di suatu pagi pamanya membuka obrolan.
"Bud, lu bagus merintis karir di dunia politik. Masuk partai. Ntar kalau lu bagus bergaul, lu bisa jadi anggota dewan, walikota, gubernur, atau bahkan presiden," kata paman.
"Enggak paman. Saya nggak mau jadi politikus," jawab Budi.
"Emangnya lu mau kerja apa," tanya pamannya lagi.
"Mau jadi guru, paman," kata Budi.
Sambil berdiri dari kursi, sang paman pun berkata, "Oooo... ya gak bisa. Kalau mau jadi guru, minimal kamu harus sarjana"
Guru Dicaci
Begitulah. Jadi guru itu berat. Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Guru dicaci maki.
"Gak sekolah tapi bayar uang SPP juga. Gurunya makan gaji buta!," tuduh mereka.
Para pencaci itu tidak salah, mereka hanya tidak mengerti. Bagaimana perjuangan guru di masa pandemi. Kerja guru berlipat ganda. Kalau biasanya 5 jam di sekolah, di masa pandemi bisa 15 - 20 jam mengajar.
Pagi hari membuat dan mengirim materi ajar ke WAG. Mulai dari itu, WA tak berhenti berbunyi. Dipenuhi pertanyaan. Hingga malam.
Biasanya, di malam hari, sesi bagi siswa yang tidak memiliki hape. Jadi mereka menunggu ayah/ibunya pulang kerja, untuk mengerjakan tugas sekolah.
Tetap jadi korban pungli
Meski pemerintah sudah menciptakan sistem penyaluran bantuan guru yang mumpuni (langsung transfer ke rekening pribadi), namun mental pengemis para oknum malah merusaknya.
Wati, (bukan nama sebenarnya) seorang guru SD terlihat riang sambil memandang buku tabungannya. Ia baru saja keluar dari bank untuk cek transfer-an.
"Bantuannya Sudah masuk nih," ujar Wati sambil menunjukkan buku tabungan ke wanita di sebelahnya.
"Alhamdulillah," kata temannya, sebut saja Dewi.
"Kira-kira mau dipotong berapa nih?," tanya Wati.
"Seperti biasalah. Rp200ribu kata si anu. Itu buat anu dan anu (sensor)," jawab Dewi.
Seketika raut wajah Wati berubah.
"Kok banyak kali ya. Kok tega kali ya," keluh Wati.
"Kan sudah biasa seperti itu, bu,' kata Dewi berusaha menenangkan sahabatnya.
"Iya sih. Tapi sekarangkan sedang pandemi. Suamiku sudah 3 bulan nggak ada orderan," balas Wati.
Dewi hanya terdiam. Sambil sesekali menghela nafas.
Meski seperti cerpen, namun kisah di atas berdasarkan kisah nyata. Masih ada oknum-oknum berjiwa pengemis yang menganggap guru sebagai sapi perahan. Setiap ada bantuan atau pun sertifikasi yang cair, mereka siap sedia menadahkan tangan.
Guru pun serba salah. Kalau tidak diberi, urusan bakal ruwet. Kalau diberi, hati kecil meronta.
Dan masih banyak dinamika menjadi seorang guru. Di Hari Guru ini, kita doakan agar seluruh guru dimana pun berada, senantiasa dilimpahkan rezeki. Hingga bisa mendidik generasi penerus dengan iklas dan sabar. Aamiin...
Posting Komentar