dr. Achmad Moechtar, Ilmuwan Kelas Dunia yang Dibantai Jepang Secara Keji
RUMAH Sakit Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat sebagai salah satu rumah sakit rujukan penanganan COVID-19.
Selama ini kita mungkin tidak mengenal sosok Prof. DR. Achmad Mochtar, yang namanya diabadikan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat sebagai nama RSUD Provinsi Sumatera Barat pada bekas Rumah Sakit Militer Belanda di Bukittinggi sekarang.
Sekitar tiga tahun lalu saya mencoba menelusuri jejak dan rumah kelahiran sang "Doktor Ahli Virus dan Bakteri pertama Indonesia berkelas Dunia" itu, ke kampung halamannya di Nagari Ganggo Hilia Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.
Bersama Bupati Pasaman Yusuf Lubis, saya mengunjungi rumah tua dokter Achmad Mochtar, kami diterima oleh dua orang cucunya (garis keturunan ibu), dr. Rubaiyat Proehoeman (64) yang akrab disapa ‘dokter rubi’, dan Prof. DR. Siti Chairani Proehoeman (68), senias dan dosen seriosa mancanegara.
Siti Chairani memaparkan bahwa Achmad Mochtar lahir pada pada tahun 1892 dari pasangan Omar dan Roekayah di Ganggo Hilia kecamatan Bonjol. Omar sang ayah adalah seorang guru yang berasal dari Mandahiling (Prov. Sumut sekarang) sedangkan Roekayah adalah putri asli Bonjol cucu seorang Laras Hoof (Ketua Laras se-Minangkabau).
Sewaktu masih kecil Achmad Mochtar sering dibawa pindah orang tuanya yang seorang guru (dimutasi), tempat tugasnya, dan akhirnya Achmad Mochtar melanjutkan sekolah menengah, semacam SMA sekarang di Batavia.
Setelah tamat sekolah menengah, pada tahun 1916 Achmad Mochtar melanjutkan studinya ke Sekolah Dokter STOVIA di Batavia. Setelah tamat sekolah dokter di Stovia beliau melanjutkan kuliahnya di Amsterdam University Belanda.
Achmad Mochtar dapat menyelesaikan disertasinya pada tahun 1927 dengan hasil penelitiannya membantah (sangkalan) bahwa Leptus Spera bukanlah penyebab penyakit kuning/lever, sehingga beliau berhak menyandang gelar Doktor pada bidang Bakteri Tropic dari Amsterdam University tersebut.
Selesai meraih gelar doctor tersebut (1927) beliau kembali ke tanah air dan dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda di laboratorium yang ada di tanah air, seperti di Bukittinggi, Padang, Bengkulu Semarang dan Batavia.
Pada masa selanjutnya, atas hasil penelitiannya terus menerus dan menulis buku-buku dibidang kedokteran, terutama terkait keahliannya itu, Achmad Mochtar dianugerahi gelar Guru Besar (Profesor) di Perguruan Tinggi yang sama (Belanda).
Pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai direktur The Central Medical Laboratory, kemudian lembaga ini bertukar nama menjadi Eijkman Laboratory.
Prof.DR. Achmad Mochtar, diangkat juga sebagai dosen dan sekaligus sebagai wakil rektor STOVIA, sementara rektornya adalah orang Belanda.
Di angkat sebagai kepala laboratorium sekaligus wakil rektor STOVIA adalah sebuah prestasi yang gemilang bagi rakyat pribumi karena tidak sembarang orang yang dapat dipercaya memegang kedua jabatan penting tersebut, apalagi bagi rakyat inlander semasa itu.
Petaka itupun tiba sewaktu tanah jajahan Hindia Belanda dirampas oleh tentara Jepang (1942), dan Jepang mendirikan Pemerintahan Militer.
Pada pemerintahan militer Jepang itu, banyak terjadi penyiksaan dan romusha dilaksankan. Dibalik semua penyiksaan dan romusha ini teremban misi jahat Jepang untuk menghabisi orang-orang kita.
Salah satu program Jepang tersebut adalah menebarkan virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) di tahun 1944 ke seluruh orang kita, terutama yang dipekerjakan sebagai kuli paksa (romusha) tersebut.
Untuk membuat produksi virus/bakteri itu, militer Jepang memaksa Achmad Mochtar laboratoriumnya memproduksi sebanyak-banyaknya virus/bakteri tersebut.
Namun Achmad Mochtar menolak kedua perintah militer Jepang tersebut, karena tidak mungkin dia mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri dengan memanfatkan keahliannya itu.
Karena selama ini dia meneliti dan mendalami berbagai bakteri tropis untuk membuat pencegahan dan berbagai macam obat supaya anak bangsanya tidak terjangkit penyakit yang berujung kematian akibat berbagai macam bakteri yang hidup subur di daerah berhawa topis seperti Indonesia.
Namun virus TCD tersebut tetap disebar oleh tentara Jepang yang entah dari mana asalnya.
Untuk menghindari tuduhan sebagai “penjahat perang”, Jepang meng kambing hitamkan Prof.DR. Achmad Mochtar dengan laboratorium yang dipimpinnya sebagai produsen virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) dan sekaligus sebagai penebarnya.
Atas tuduhan yang direkayasa Pemerintahan Militer Jepang tersebut, maka laboratorium itu ditutup paksa dan seluruh staf laboratorium itu diancam bunuh oleh Jepang.
Karena merasa tidak berbuat atas tuduhan Jepang, ‘si Jenius’ putra Bonjol ini melakukan pembelaan dan melindungi seluruh stafnya.
Namun fakta bercerita tuduhan terhadap Prof.DR. Achmad Mochtar, staf dan labournya tak mengalami perubahan. Akhirnya hukuman tetap dijalankan, sejumlah dokter dan ilmuwan ditawan untuk dieksekusi mati oleh tentara Jepang dengan tuduhan melakukan sabotase.
Setelah lebih dari 1.000 romusha di Klender, Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery), dengan rasa tanggung jawab selaku seorang pimpinan dan jati dirinya ‘Sang Profesor bakteri berkelas dunia dan yang pertama dari Asia’ ini mengambil sikap, daripada anak buah dan kawan-kawan penelitinya yang menjadi korban keganasan militer Jepang maka dia meminta para peneliti dibebaskan dengan taruhan merelakan dirinya untuk menjalani eksekusi.
Dan Achmad Mochtar di eksekusi pada 3 Juli 1945. Dari informasi yang berkembang selama ini diduga Prof.DR. Achmad Muchtar dibunuh Militer Jepang dengan cara dibantai.
Menurut Siti Chairani, dengan mata yang berkaca-kaca menuturkan sebagaimana yang diceritakan oleh ibunya (keponakan Achmad Muchtar), bahwa kakeknya itu dibunuh lebih tragis, lebih kejam lagi seperti yang diduga tersebut.
Sebetulnya dengan cara digilas pakai mesin stomboal (mesin pelican pengaspal jalan) bertenaga uap.
Siti Chairani melanjutkan kisahnya, setelah kakeknya itu digilas bolak balik dengan mesin stomboal, barulah Jepang memanggil ibunya Achmad Mochtar untuk menjemput pakaian yang dipakai beliau yang sudah lumat dan berdarah-darah itu.
Dari kesaksian ibunya Chairani, pakaian yang dijemput tersebut sudah hancur dan tidak berbentuk lagi, tak ubahnya sudah seperti daun dimamah ulat.
Achmad Mochtar pergi tak meninggalkan bekas.
Kalaupun ada nisannya di Ereveld, Ancol atau di Verzamelgraf Antjol, sekalipun di Makam Pahlawan Kalibata tak lebih hanyalah pajangan tulisan saja.
Achmad Mochtar meninggalkan seorang istri dan dua orang anak laki-laki. Kedua anaknya ini semasa SMP sudah di sekolahkan di Belanda dan tak pernah lagi pulang ke Indonesia, dan menurut Chairani, kedua anak pamannya ini pun sekarang sudah meninggal dunia di Belanda.
Siti Chairani atas nama keluarga besar Prof.DR. Achmad Mochtar menyampaikan harapannya, kiranya pemerintah terutama pemerintah daerah dapat membuatkan patung perunggu Prof.DR. Achmad Mochtar di halaman depan rumah kelahiran beliau di Ganggo Hilia-Bonjol itu.
Namun sejauh ini, menurut pengakuan Chairani, belumlah ada pihak pemerintah yang menaruh perhatian, sekalipun pemerintah Sumatera Barat, semisal kunjungan sekalipun ke rumah kelahiran Prof. DR. Achmad Mochtar di Bonjol itu mungkin karena tidak tahu atau entah karena alasan apa, seakan beliau telah dilupakan atau terlupakan.
(by Donny Magek Piliang)
Posting Komentar