Dinamika Iuran BPJS Atas Putusan Mahkamah Agung
Hak Jaminan Kesehatan
Negara menjamin segala aspek berkehidupan dan bernegara, tak terkecuali jaminan atas kesehatan. Jaminan atas kesehatan tentunya tertuang di dalam butir UUD NRI dalam pasal 28H yang menyatakan bahwa hak atas hidup sejahtera, mempunyai tempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak atas kesehatan merupakan hak yang dimiliki oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali dan merupakan hak yang mendasar, sebab hak atas kesehatan ini adalah bagian dari hak asasi manusia yang dijamin langsung oleh UUD NRI.
Untuk mendapatkan hak atas jaminan kesehatan tidak serta merta diberi langsung kepada warga negara tersebut, tentunya ada proses yang harus terpenuhi sebelum mendapatkan hak atas jaminan kesehatan tersebut.
Karena hak beriringan dengan kewajiban maka kewajiban negara untuk memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan bersanding dengan kewajiban warga negara memenuhi syarat administrasi yang telah diberlakukan.
Kewajiban warga negara untuk memenuhi syarat administrasi agar mendapatkan fasilitas dan pelayanan kesehatan tersebut sejatinya bisa didapatkan melalui pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Walaupun negara menjamin hak warga negara akan tetapi kewajiban warga negara menjadi diutamakan terlebih dahulu.
Kisruh Kebijakan Iuran BPJS
Bermula atas kebijakan menaikkan iuran pembayaran BPJS yang diterapkan oleh pemerintah dalam Perpres Nomor 75 tahun 2019 yang dinilai sangat memberatkan warga negara sehingga kebijakan tersebut mendapat respon beragam dari berbagai kalangan masyarakat maupun organisasi masyarakat, salah satunya adalah dengan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung dalam putusannya NO. 7/P/HUM/2020 menyatakan mencabut kekuatan hukum mengikat Perpres Nomor 75 tahun 2019 tersebut pada ketentuan iuran pembayarannya, iuran pembayaran peserta kelas I yang sebelumnya sebesar Rp 160.000 berubah menjadi Rp 80.000, iuran pembayaran peserta kelas II yang sebelumnya Rp 110.000 berubah menjadi Rp 51.000, dan yang terakhir iuran pembayaran peserta kelas III yang berubah kembali menjadi Rp 25.000.
Adapun setelah terbitnya putusan MA tersebut kekuatan hukum mengikat dalam Perpres Nomor 75 tahun 2019 tersebut menjadi tidak berlaku, namun disayangkan setelah putusan tersebut presiden kembali menerbitkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang substansiya kembali menaikkan iuran peserta BPJS, kebijakan menaikkan iuran peserta BPJS tersebut mengenyampingkan sederet pekerjaan rumah pemerintah khsususnya BPJS kesehatan.
Diantaranya kualitas pelayanan yang masih banyak keluhan, semrawutnya data kepesertaan sebagaiamana data hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan pembangunan (BPKP) yang menyebutkan terdapat 27,4 juta data bermasalah, Proses validasi dan verifikasi penerima bantuan iuran yang berpotensi merugikan negara, penyebab defisit dana belum dijelaskan oleh pemerintah secara memuaskan.
Presiden VS Hukum
Dalam literatur tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan hukum (dikaji dari sudut pandang falsafah hukum) yakni untuk memberikan keadlian bagi masyrakat, kemanfaatan hukum (dikaji dari sudut pandang sosiologi) yakni untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, karena hukum diatas kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan, dan kepastian hukum (dikaji dari sudut pandang hukum normatif) yakni untuk menjaga kepentingan setiap orang atau badan hukum sehingga tidak digaanggu atau dirugikan haknya.
Dengan diterbitkannya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 setelah dibatalkannya Perpres Nomor 75 tahun 2019 oleh Mahkamah Agung menjadi drama yang menyinggung hati dan kebathinan rakyat, sebab didalam putusan Mahkamah agung tersebut pada pertimbangan Aspek Filosofis dijelaskan bahwa Perpres tersebut tidak mempertimbangkan suasana kebathinan masyarakat dalam bidang ekonomi sehingga dianggap telah melanggar asas audi et alterem partem (pertimbangan secara adil dan berimbang) yang pada hakikatnya melihat keadaan global yang sedang tidak menentu sekarang ini menjelaskan bahwa Perpres tersebut merupakan produk hukum yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan rasa keadilan yang diharapkan oleh masyarakat.
Lebih lanjut dalam pertimbangan Aspek sosiologis dijelaskan bahwa telah terjadi kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan BPJS yang mengakibatkan terjadinya defisit dana jaminan sosial sehingga dengan menaikkan iuran pembayaran peserta BPJS tersebut tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
Sebab dengan membiarkan kesalahan dan kecurangan dapat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemudian di dalam pertimbangan Aspek Yuridis dijelaskan bahwa kenaikan iuran pembayaran peserta BPJS dalam Perpres tersebut tidak sejalan dan bertentangan dengan ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial yang menyebutkan “Sistem jaminan sosial nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas kemanfaatan, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dan didalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial menyeutkan bahwa penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS harus berdasarkan asas “kemanusiaan, kemanfaatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sehingga dengan dinaikkannya iuran BPJS tersebut dinilai cacat yuridis secara substansi.
Oleh karena itu seyogyanya pemerintah dalam hal ini presiden yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan Perpres sudah seharusnya mengoreksi dan menelaah kemudian menaati putusan dari Mahkamah Agung tersebut mengingat putuan Mahkamah Agung merupakan suatu aturan atau undang-undang yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat mengikat tak terkecuali kepada presiden agar tujuan dari hukum itu sendiri dapat tercapai tanpa ada yang terciderai haknya.
Oleh : Akhmad Japar Hasibuan
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sriwijaya/ Ketua PC Angkatan Muda Palas Palembang
Posting Komentar