Pemerintah Tak Larang Mudik, Tapi Himbau ASN agar Suruh Rakyat Tak Mudik
Seluruh rakyat Indonesia dibuat bingung oleh kebijakan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa dan seringkali diralat. Contoh yang paling nyata adalah terkait mudik.
Kebijakan mudik seolah membagi pemerintah menjadi dua kubu. Kubu yang tidak melarang dan kubu yang melarang.
Padahal seharusnya negara hadir untuk memberikan perlindungan menyeluruh atas kondisi kesehatan masyarakat terhadap potensi ancaman Covid-19. Bukan justru menerapkan standar ganda terkait pelaksanaan pulang ke kampung halaman alias mudik saat Lebaran.
Di satu sisi pemerintah bilang tidak melarang masyarakat untuk melakukan perjalanan ke kampung halaman, dengan catatan harus mematuhi aturan pengendalian secara ketat yang akan dibuat pemerintah.
Namun di sisi lain, aparatur sipil negara ( ASN) yang dilarang mudik karena alasan keamanan kesehatan justru diminta mengimbau masyarakat untuk tidak mudik hingga situasi di seluruh wilayah Indonesia bebas dari ancaman Covid-19.
Selain itu, sejumlah pemerintah daerah pun meminta agar warganya yang tinggal di daerah pandemi untuk sementara waktu tidak kembali ke kampung halaman.
Standar ganda pemerintah dalam memastikan keamanan kondisi kesehatan masyarakat pun dipertanyakan.
Kepastian tidak adanya larangan masyarakat untuk mudik itu disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati.
Meski demikian, masyarakat diminta mengikuti protokol yang ditetapkan bila ingin mudik.
Saat ini, Kemenhub tengah mematangkan Peraturan Menteri Perhubungan untuk pengendalian transportasi dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19.
"Untuk itu, kami juga tengah memfinalisasi Buku Panduan atau Petunjuk Teknis Mudik 2020, yang harus diperhatikan dan wajib diikuti oleh masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke luar dari suatu daerah, terutama yang telah ditetapkan sebagai PSBB," kata Adita dalam keterangan tertulis, Rabu (8/4/2020).
Sejumlah kebijakan yang tengah disusun itu meliputi physical distancing yang akan diberlakukan bagi kendaraan pribadi ataupun angkutan umum.
Untuk sepeda motor, misalnya, pemudik dilarang membawa penumpang saat melakukan perjalanan.
Sementara itu, untuk kendaraan roda empat, harus mengangkut maksimal setengah dari kapasitas penumpang.
Aturan yang sama juga berlaku bagi pengguna moda transportasi umum. Ada pengaturan jarak fisik yang harus dilakukan dengan mengurangi kapasitas penumpang.
Selain itu, mereka juga diminta untuk melakukan isolasi mandiri selama 14 hari setelah tiba di kota kelahirannya dan 14 hari setelah kembali ke Jakarta atau kota lain tempat mereka kembali.
Kepala Bagian Ops Korlantas Polri Kombes Benyamin menyatakan, kendaraan yang tidak mematuhi anjuran yang ditetapkan akan diminta untuk kembali ke daerah asal mereka berangkat.
Sementara itu, perusahaan penyedia jasa transportasi umum yang tidak mematuhi aturan tersebut akan dijatuhi sanksi oleh Kemenhub.
Bertolak belakang
Tidak adanya larangan tegas bagi masyarakat untuk mudik ini bertolak belakang dengan tugas yang diberikan kepada ASN agar mengimbau masyarakat untuk tidak mudik.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Bepergian ke Luar Daerah dan/atau Kegiatan Mudik bagi ASN dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Selain melarang ASN dan keluarganya untuk tidak mudik sesuai dengan taklimat yang termuat di dalam poin a, ASN juga diberikan tugas tambahan untuk mengimbau masyarakat agar tidak kembali ke kampung halamannya untuk sementara waktu.
"Dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19 di wilayah NKRI, ASN agar mengajak masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya untuk tidak bepergian ke luar daerah dan/atau kegiatan mudik dalam rangka Hari Raya Idul Fitri 1441 H ataupun kegiatan ke luar daerah lainnya sampai dengan wilayah NKRI dinyatakan bersih dari Covid-19," demikian tulis poin c dari surat edaran yang ditandatangani Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo itu.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, pemerintah masih menggunakan orientasi ekonomi dalam mengambil kebijakan terkait mudik Lebaran. Hal ini tidak sesuai dengan protokol kesehatan yang telah disusun selama ini.
Sebagai contoh, Juru Bicara Pemerintah tentang Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto dalam setiap kesempatan selalu menyampaikan agar masyarakat menghindari melakukan perjalanan mudik karena dikhawatirkan mereka akan menjadi carrier virus corona yang justru akan mengancam keluarga di daerah yang rentan, seperti orang tua maupun mereka yang memiliki imunitas rendah.
"Jika pemerintah memaksakan mudik Lebaran sekalipun dengan istilah pengendalian ketat, maka hal itu akan berisiko tinggi, yakni episentrum virus corona akan menyebar dan berpindah ke daerah," kata Tulus dalam keterangan tertulis.
Pemerintah, imbuh dia, seharusnya dapat memiliki pertimbangan jangka panjang, apabila masyarakat di daerah atau desa yang tidak memiliki fasilitas kesehatan yang memadai terinfeksi Covid-19.
Sebagai contoh, bila ada petani atau peternak yang terinfeksi, maka hal itu dapat memengaruhi pasokan logistik ke daerah urban.
Padahal, saat ini tidak sedikit daerah urban yang memiliki banyak kasus positif Covid-19 dan menerapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
DKI Jakarta, misalnya, dari total 2.956 kasus positif Covid-19 secara nasional, 1.470 kasus di antaranya berada di provinsi yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan ini.
Masyarakat di daerah urban, imbuh Tulus, membutuhkan pasokan logistik yang lancar dari petani dan peternak di daerah.
"Siapa yang akan memasok logistik, jika petani tumbang karena terinfeksi virus corona oleh para pemudik?" tegas Tulus.
Selain itu, ia meragukan kemampuan aparat dalam mengawal kebijakan pembatasan yang akan diterapkan nantinya.
"Yang terjadi di lapangan, polisi akan kompromistis alias membiarkan pemudik motor berpenumpang dua orang atau lebih untuk jalan terus ke kampung halamannya. Tidak tega jika suruh balik lagi ke Jakarta, juga untuk roda empat sekalipun," ujarnya. (kompas)
Posting Komentar