Hasil Perhitungan Para Ahli Kampus Ternama : Jutaan Meninggal Akibat Corona
Para ilmuwan kembali membuat hitung-hitungan soal dinamika wabah virus Corona (COVID-19) di Indonesia.
Hasilnya cukup mencengangkan, jutaan orang diprediksi akan meninggal dunia. Selain itu, jumlah kasus Corona di Jakarta diperkirakan sudah menembus angka 32 ribu.
Berdasarkan hitung-hitungan ilmuwan itu, wabah virus Corona bisa membuat 2,6 juta orang di Indonesia meninggal dunia. Hal ini bisa terjadi jika COVID-19 dibiarkan tanpa intervensi.
Pemerintah Indonesia sudah melakukan intervensi, maka angka kematian 2,6 juta bisa dihindari. Namun, bila setengah dari masyarakat tidak mengisolasi diri, angka kematian tetap berpotensi tembus sejuta.
Pemodelan dibuat oleh gabungan pakar dari berbagai universitas dan tim SimcovID. Ilmuwan yang terlibat dalam penelitian ini berasal dari ITB, Unpad, UGM, Essex and Khalifa University, University of Southern Denmark, Oxford University, ITS, Universitas Brawijaya, dan Universitas Nusa Cendana.
Peneliti membagi prediksi berdasarkan tiga level intervensi sebagai berikut:
1. Tanpa intervensi: Penyebaran virus dibiarkan tanpa penanganan.
2. Mitigasi (mulai 15 Maret 2020): Memperlambat penyebaran. 50% Populasi diam di dalam tempatnya, 50% populasi bisa bepergian.
3. Supresi (jika mulai 12 April 2020): Menekan laju penyebaran. Karantina wilayah. Hanya mengizinkan 10% populasi yang bisa bepergian.
Sebagaimana diketahui, saat ini Indonesia telah menyatakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sudah ada imbauan pembatasan jarak fisik, peliburan tempat-tempat kerja, hingga peniadaan kerumunan orang. Bagaimana dengan Indonesia saat ini? Apakah masuk kondisi COVID-19 tanpa intervensi, mitigasi, atau supresi?
"Indonesia cenderung mitigasi keras, belum supresi," kata Nuning Nuraini, peneliti matematika epidemiologi ITB yang ikut serta dalam riset ini, menjawab pertanyaan detikcom, Kamis (9/4/2020).
Berikut ini prediksinya:
Perbandingan strategi tanpa intervensi, mitigasi, dan supresi
1. Tanpa intervensi
- Jumlah kematian: 2,6 juta
- durasi epidemi sejak intervensi: 4-5 bulan
- puncak kasus aktif: 55 juta (tengah Mei 2020)
- puncak kebutuhan ICU: 6 juta
2. Mitigasi (mulai 15 Maret 2020)
- Jumlah kematian: 1,2 juta
- durasi epidemi sejak intervensi: 10-13 bulan
- puncak kasus aktif: 5,5 juga (awal Juli 2020)
- puncak kebutuhan ICU: 600 ribu
3. Supresi (jika mulai 12 April 2020)
- Jumlah kematian: 120 ribu
- durasi epidemi sejak intervensi: 6-7 bulan
- puncak kasus aktif: 1,6 juta (akhir April-awal Mei 2020)
- puncak kebutuhan ICU: 180 ribu
Lantas, bagaimana dengan kondisi intervensi yang diterapkan saat ini? Apakah angka kematiannya bakal 1,2 juta orang sebagaimana prediksi dengan kategori intervensi mitigasi, atau jumlah kematian 120 ribu orang sebagaimana prediksi dengan kategori supresi?
"Jumlah kematian bisa lebih rendah dari 1,2 juta orang, kita sedang berada di antara mitigasi dan supresi. Ini tergantung pilihan yang dibuat individu dan juga pemerintah. Kalau masing-masing individu sadar disiplin mengisolasi diri dan keluarga, atau apabila pemerintah bertindak keras, maka harapannya bisa dekat ke supresi," kata Nuning Nuraini.
"Tapi kalau masih mudik, ya, bisa dibayangkan penyebarannya," imbuhnya.
Riset ini menggunakan permodelan SEIRQD, yakni Susceptible (rentan)-Exposed (terpapar)-Infected (tertular)-Quarantine (karantina)-Recovery (sembuh)-Death (kematian).
Tujuannya, pertama, untuk menganalisis perkiraan kepadatan kasus COVID-19 per 100 ribu jumlah penduduk. Kedua, menunjukkan seberapa besar perkiraan kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia.
Riset ini juga menggunakan metode Extended Kalman Filter. Tujuan penggunaan metode ini untuk memberi nilai angka reproduksi penularan COVID-19 dengan tepat, dan memproyeksikan waktu puncak serta jumlah kasus kematian dari beberapa skenario kebijakan pemerintah.
Tak hanya sampai di situ saja. Hasil penelian ini juga mengungkap perkiraan kasus Corona di lapangan.
Penelitian ini menggunakan data 31 Maret 2020. Saat itu, data pemerintah menyebut ada 747 kasus positif COVID-19 di Jakarta.
Namun, menurut penelitian ini, data yang tercatat hanyalah 2,3 persen dari yang sebenarnya, yakni 32 ribu kasus positif COVID-19.
"Jakarta memiliki kepadatan kasus COVID-19 tertinggi di Indonesia, dengan 315 kasus untuk setiap 100 ribu populasi," tutur Nuning dalam draf penelitian tersebut.
Dengan kata lain, dari 100 ribu orang di Jakarta, ada 315 orang yang terjangkit COVID-19. Penduduk Jakarta sendiri berjumlah sekitar 10 juta jiwa.
"Kepadatan kasus COVID19 di Jakarta jauh melebihi provinsi lain yang hanya berkisar di bawah 50 kasus/100.000 populasi," tulis tim peneliti.
Kasus COVID-19 tak terdeteksi ada di luar Pulau Jawa, yakni Bengkulu, Papua barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, dan Bali.
Berikut ini perkiraan kasus positif COVID-19 berdasarkan permodelan ilmuwan lintas universitas ini.
Estimasi persentase kasus yang terdeteksi di 10 provinsi, 31 Maret 2020:
1. Bengkulu
Estimasi total kasus: 385
Persentase kasus yang terdeteksi: 0,26%
2. Papua Barat
Estimasi total kasus: 385
Persentase kasus yang terdeteksi: 0,52%
3. Sumatera Selatan
Estimasi total kasus: 770
Persentase kasus yang terdeteksi: 0,65%
4. Kalimantan Barat
Estimasi total kasus: 770
Persentase kasus yang terdeteksi: 1,2%
5. Kepulauan Riau
Estimasi total kasus: 385
Persentase kasus yang terdeteksi: 1,8%
6. DKI Jakarta
Estimasi total kasus: 32.000
Persentase kasus yang terdeteksi: 2,3%
7. Jawa Barat
Estimasi total kasus: 8.090
Persentase kasus yang terdeteksi: 2,4%
8. Bali
Estimasi total kasus: 770
Persentase kasus yang terdeteksi: 2,5%
9. DIY
Estimasi total kasus: 770
Persentase kasus yang terdeteksi: 3,0%
10. Jawa Timur
Estimasi total kasus: 3.080
Persentase kasus yang terdeteksi: 3,0%
Credible interval: 86%
Draf penelitian ini bertanggal 6 April 2020. Hasil permodelan belum melalui penelaahan sejawat (peer review). Hasil pemodelan matematis ini memang mencengangkan. Maka sedianya kita tetap waspada akan bahaya virus ini. (detik)
Posting Komentar