Tulisannya Nusuk Banget, "Pemerintah Punya Hobby Sengsarakan Rakyat!"
"LICENCES To Kill…”, itulah salah satu topik pembicaraan saya hari Minggu lalu dengan Suryo Bambang Sulisto (SBS), seorang pengusaha dan mantan Ketua KADIN Indonesia.
Yang dimaksudkan SBS, cukup banyak peraturan yang dibuat pemerintah yang akhirnya hanya untuk "membunuh" masyarakat.
Disebutkannya sejumlah peraturan yang dibuat di era pemerintahan Orde Baru (Soeharto) yang berlanjut hingga sekarang. Ada yang menyangkut dunia perbankan dan keuangan dan ada pula yang terkait dengan industri media.
Tadinya saya masih berpikir bahwa "Licence To Kill…", tidak terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tadi kemudian saya teringat pada gagasan dari Kementerian Keuangan yang akan mengenakan pajak pada setiap hand set telepon selular (ponsel).
Jelas peraturan ini secara mental "membunuh" masyarakat pengguna ponsel. Karena rakyat ditakut-takuti dengan UU Perpajakan, yang punya saksi hukumnya.
Apa masuk akal di era keterbukaan ini, seorang pemilik ponsel yang harga ponselnya sudah tidak sampai lima juta rupiah, gara-gara tidak menaati UU Perpajakan lalu mendApat sanksi kurungan?
Mikir om, tante. Mikir dong mas bro
Penolakan masyarakat terhadap gagasan itu, jelas cukup kuat dan serius. Sayangnya, hingga sekarang tidak ada respon dari pemerintah cq Kementerian Keuangan, pihak yang akan mengenakan pajak terhadap setiap handset ponsel.
Seakan-akan taboo bagi pemerintah meralat sebuah kebijakan, sekalipun secara fundamental, isi dan semangatnya bertentangan dengan kehendak masyarakat.
Emangnya wajib pajak itu sebuah benda mati yang tidak punya akal sehat?
Alasan penolakan itu juga, secara logika sehat, tidak mengada-ada.
Misalnya disebutkan, ponsel, bukan lagi sebuah barang mewah. Karena lebih banyak ponsel yang berharga murah, ada yang harganya di bawah satu juta rupiah.
Dan masyarakat pengguna posel murah, secara proporsional cukup banyak.
Kendati demikian, peraturan pemerintah tersebut tetap dijalankan. Maka tinggallah sekarang rakyat menunggu – pasrah apa yang akan terjadi di kemudian hari kelak.
Kalau kasus pelanggaran ini membengkak, apakah sistem kita memiliki jumlah hakim dan jaksa serta kantor pengadilan yang memadai ?
Belum lagi persoalan pajak ponsel ditanggapi pemerintah, pagi tadi, sudah muncul atau dimunculkan persoalan baru.
Ketika mengikuti sebuah dialog walaupun tidak penuh, di program Metro TV, apa yang dikemukakan oleh SBS, pengusaha yang juga pernah menjadi Duta Besar Keliling untuk benua Amerika itu menjadi lebih nyata.
Topiknya sekitar rencana pemerintah yang mewajibkan pemilik ponsel untuk mendaftar ulang nomor telepon selular (ponsel).
Ujung-ujungnya, kalau pemilik ponsel tidak melakukan registrasi sesuai isi peraturan menteri atau pemerintah, sang pemilik akan terkena sanksi.
Sanksi bertahap. Mulai dari tidak bisa membuat panggilan sampai dengan tidak bisa menerima panggilan.
Masyarakat yang kehidupannya sudah sangat bergantung dan mengandalkan ponsel, tentu saja khawatir dengan ancaman ini.
Mengikuti alur pikir sang narasumber, saya tidak sempat catat nama lengkapnya, kecuali …Hartoyo, saya berpendapat, inilah salah satu contoh bagaimana pemerintah membuat aturan yang dasar pemikirannya subyektif. Tidak memperhitungkan kepentinganm orang banyak. Hanya memikirkan kepentingan pemerintah.
Rakyat itu kan lebih dari 200 juta. Sementara pejabat pemerintah, mungkin tidak sampai 10 juta.
Kok yang 10 juta mau ngatur (secara otoriter) yang berjumlah 200 juta?
Cara “Pak Hartoyo” menjelaskan, cukup mengesankan. Bahwa pihak pemerintah yang membuat aturan tersebut, sudah pasti benar, begitu sempurna, bertujuan baik sehingga rakyat harus tunduk.
Bahkan dengan sekali bicara di Metro TV untuk durasi sekitar 10 menit, hal itu sudah merupakan sebuah sosialisasi yang efektif.
Pak Hartoyo, lupa tidak semua pemilik ponsel, menonton Metro TV atau senang menyimak penjelasan yang sifatnya memaksa atau mengancam.
Dia lupa bahwa kebenaran untuk masalah ini sangat relatif. Tergantung dari sisi mana melihatnya.
Kalau paradigma yang digunakan bahwa pemerintah itu seperti sebuah kerajaan di zaman Romawi Kuno, jelas setiap peraturan yang dikeluarkan pemerintah itu, sebuah titah raja. Sebuah perintah yang tidak boleh didebat.
Tapi era sekarang, sudah masuk zaman milenial. Zaman dimana peraturan tidak lagi bersumber pada konsep kerajaan.
Era milenial, bahkan seperti "membantah" tentang semua konsep demokrasi.
Cara pandang generasi milenial, sangat berbeda dengan cara generasi “X”, “Y” dan “Z”. Tiga genetrasi ini saja sudah berbeda satu sama lain. Apalagi generasi milenial yang tidak masuk di XYZ.
Jika Pak Hartoyo atau pejabat pemerintah tidak paham dengan yang dimaksud dengan generasi milenial, coba tanya sendiri kepada Pak Jokowi, Presiden RI.
Beliaulah yang antara lain menyebut bahwa film pengkhianatan G30S/PKI, perlu dibuat ulang untuk versi generasi milenial. Artinya Presiden sadar diri tentang perbedaan sikap setiap dan tata nilai generasi.
Ringkasnya, pemerintah sebaiknya jangan terlalu banyak mengatur rakyat, kalau keadaannya sudah berjalan baik.
Dan dalam hal registrasi ulang ponsel, memang sangat tidak masuk akal kalau pemerintah harus memaksa rakyat untuk menerima aturan baru.
Kata "registrasi" atau pendaftaran ulang setiap kepemilikan ponsel menandakan sebuah kelemahan pemerintah.
Artinya sejauh ini pemerintah abai untuk menyimpan semua data kepemilikan ponsel dan nomornya.
Padahal setiap kali kita membeli handset baru plus nomornya, semua data kita sebagai pembeli, dicatat oleh kementerian yang bertanggung jawab soal ini.
Nah keabaian ini, sebagai sebuah kelemahan dikonpensasi, dengan cara "registrasi".
Tolonglah, rakyat jangan dikibuli dengan premis-premis kuno.
Demikian pula setiap kali kita membayar tagihan melalui ATM, jelas nama pemilik nomor tertera di layar mesin ATM.
Begitu nama dan nomor tidak sesuai, kita tidak mungkin melakukan pembayaran.
Jadi sistem apa lagi yang harus digunakan? Ini cuma soal koordinasi dengan perbankan.
Jadi sebetulnya, pemerintah mau kerja gampang dan enak, sambil ngancam-ngancam rakyat sebagai pemilik ponsel untuk dikenai sanksi.
Maaf Pak Hartoyo, saya sebagai rakyat biasa sudah jenuh dengan kelakuan oknum birokrat pemerintah yang kerjanya "hobi" menciptakan kesulitan bagi rakyat.
Masih cukup segar dalam ingatan soal BPJS. Persoalan yang ditimbulkan oleh BPJS, lembaga pemerintah, sudah demikian menggunung dan mengguncang.
Rakyat peserta program BPJS, terus mengeluh karena merasa dipersulit, tetapi instansi pemerintah yang terkait, seolah tidak mendengar apa yang jadi keluhan masyarakat.
Maksud saya mengaitkan registrasi ulang ponsel, jangan sampai menambah beban baru, setelah masalah BPJS tidak terselesaikan.
Dan jangan lupa, registrasi apapun saat ini, jika regulasinya mengacu pada data kependudukan, jelas akan sangat tidak mungkin.
Karena mayoritas penduduk saat ini, belum memiliki e-KTP. Skandal korupsi e-KTP, telah menyebabkan terhalangnya setiap kelurahan memberikan tanda pengenal kepada setiap warga yang berhak.
Cobalah introspeksi Pak Hartoyo.
Jika anda kebetulan seorang birokrat, buanglah jauh-jauh mental berupa “hobi” membuat peraturan yang hanya mempersulit warga.
Hobi itu kalau jadi mental, jelas tidak sehat dan tidak elok. [***]
Penulis adalah wartawan senior
Yang dimaksudkan SBS, cukup banyak peraturan yang dibuat pemerintah yang akhirnya hanya untuk "membunuh" masyarakat.
Disebutkannya sejumlah peraturan yang dibuat di era pemerintahan Orde Baru (Soeharto) yang berlanjut hingga sekarang. Ada yang menyangkut dunia perbankan dan keuangan dan ada pula yang terkait dengan industri media.
Tadinya saya masih berpikir bahwa "Licence To Kill…", tidak terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Tadi kemudian saya teringat pada gagasan dari Kementerian Keuangan yang akan mengenakan pajak pada setiap hand set telepon selular (ponsel).
Jelas peraturan ini secara mental "membunuh" masyarakat pengguna ponsel. Karena rakyat ditakut-takuti dengan UU Perpajakan, yang punya saksi hukumnya.
Apa masuk akal di era keterbukaan ini, seorang pemilik ponsel yang harga ponselnya sudah tidak sampai lima juta rupiah, gara-gara tidak menaati UU Perpajakan lalu mendApat sanksi kurungan?
Mikir om, tante. Mikir dong mas bro
Penolakan masyarakat terhadap gagasan itu, jelas cukup kuat dan serius. Sayangnya, hingga sekarang tidak ada respon dari pemerintah cq Kementerian Keuangan, pihak yang akan mengenakan pajak terhadap setiap handset ponsel.
Seakan-akan taboo bagi pemerintah meralat sebuah kebijakan, sekalipun secara fundamental, isi dan semangatnya bertentangan dengan kehendak masyarakat.
Emangnya wajib pajak itu sebuah benda mati yang tidak punya akal sehat?
Alasan penolakan itu juga, secara logika sehat, tidak mengada-ada.
Misalnya disebutkan, ponsel, bukan lagi sebuah barang mewah. Karena lebih banyak ponsel yang berharga murah, ada yang harganya di bawah satu juta rupiah.
Dan masyarakat pengguna posel murah, secara proporsional cukup banyak.
Kendati demikian, peraturan pemerintah tersebut tetap dijalankan. Maka tinggallah sekarang rakyat menunggu – pasrah apa yang akan terjadi di kemudian hari kelak.
Kalau kasus pelanggaran ini membengkak, apakah sistem kita memiliki jumlah hakim dan jaksa serta kantor pengadilan yang memadai ?
Belum lagi persoalan pajak ponsel ditanggapi pemerintah, pagi tadi, sudah muncul atau dimunculkan persoalan baru.
Ketika mengikuti sebuah dialog walaupun tidak penuh, di program Metro TV, apa yang dikemukakan oleh SBS, pengusaha yang juga pernah menjadi Duta Besar Keliling untuk benua Amerika itu menjadi lebih nyata.
Topiknya sekitar rencana pemerintah yang mewajibkan pemilik ponsel untuk mendaftar ulang nomor telepon selular (ponsel).
Ujung-ujungnya, kalau pemilik ponsel tidak melakukan registrasi sesuai isi peraturan menteri atau pemerintah, sang pemilik akan terkena sanksi.
Sanksi bertahap. Mulai dari tidak bisa membuat panggilan sampai dengan tidak bisa menerima panggilan.
Masyarakat yang kehidupannya sudah sangat bergantung dan mengandalkan ponsel, tentu saja khawatir dengan ancaman ini.
Mengikuti alur pikir sang narasumber, saya tidak sempat catat nama lengkapnya, kecuali …Hartoyo, saya berpendapat, inilah salah satu contoh bagaimana pemerintah membuat aturan yang dasar pemikirannya subyektif. Tidak memperhitungkan kepentinganm orang banyak. Hanya memikirkan kepentingan pemerintah.
Rakyat itu kan lebih dari 200 juta. Sementara pejabat pemerintah, mungkin tidak sampai 10 juta.
Kok yang 10 juta mau ngatur (secara otoriter) yang berjumlah 200 juta?
Cara “Pak Hartoyo” menjelaskan, cukup mengesankan. Bahwa pihak pemerintah yang membuat aturan tersebut, sudah pasti benar, begitu sempurna, bertujuan baik sehingga rakyat harus tunduk.
Bahkan dengan sekali bicara di Metro TV untuk durasi sekitar 10 menit, hal itu sudah merupakan sebuah sosialisasi yang efektif.
Pak Hartoyo, lupa tidak semua pemilik ponsel, menonton Metro TV atau senang menyimak penjelasan yang sifatnya memaksa atau mengancam.
Dia lupa bahwa kebenaran untuk masalah ini sangat relatif. Tergantung dari sisi mana melihatnya.
Kalau paradigma yang digunakan bahwa pemerintah itu seperti sebuah kerajaan di zaman Romawi Kuno, jelas setiap peraturan yang dikeluarkan pemerintah itu, sebuah titah raja. Sebuah perintah yang tidak boleh didebat.
Tapi era sekarang, sudah masuk zaman milenial. Zaman dimana peraturan tidak lagi bersumber pada konsep kerajaan.
Era milenial, bahkan seperti "membantah" tentang semua konsep demokrasi.
Cara pandang generasi milenial, sangat berbeda dengan cara generasi “X”, “Y” dan “Z”. Tiga genetrasi ini saja sudah berbeda satu sama lain. Apalagi generasi milenial yang tidak masuk di XYZ.
Jika Pak Hartoyo atau pejabat pemerintah tidak paham dengan yang dimaksud dengan generasi milenial, coba tanya sendiri kepada Pak Jokowi, Presiden RI.
Beliaulah yang antara lain menyebut bahwa film pengkhianatan G30S/PKI, perlu dibuat ulang untuk versi generasi milenial. Artinya Presiden sadar diri tentang perbedaan sikap setiap dan tata nilai generasi.
Ringkasnya, pemerintah sebaiknya jangan terlalu banyak mengatur rakyat, kalau keadaannya sudah berjalan baik.
Dan dalam hal registrasi ulang ponsel, memang sangat tidak masuk akal kalau pemerintah harus memaksa rakyat untuk menerima aturan baru.
Kata "registrasi" atau pendaftaran ulang setiap kepemilikan ponsel menandakan sebuah kelemahan pemerintah.
Artinya sejauh ini pemerintah abai untuk menyimpan semua data kepemilikan ponsel dan nomornya.
Padahal setiap kali kita membeli handset baru plus nomornya, semua data kita sebagai pembeli, dicatat oleh kementerian yang bertanggung jawab soal ini.
Nah keabaian ini, sebagai sebuah kelemahan dikonpensasi, dengan cara "registrasi".
Tolonglah, rakyat jangan dikibuli dengan premis-premis kuno.
Demikian pula setiap kali kita membayar tagihan melalui ATM, jelas nama pemilik nomor tertera di layar mesin ATM.
Begitu nama dan nomor tidak sesuai, kita tidak mungkin melakukan pembayaran.
Jadi sistem apa lagi yang harus digunakan? Ini cuma soal koordinasi dengan perbankan.
Jadi sebetulnya, pemerintah mau kerja gampang dan enak, sambil ngancam-ngancam rakyat sebagai pemilik ponsel untuk dikenai sanksi.
Maaf Pak Hartoyo, saya sebagai rakyat biasa sudah jenuh dengan kelakuan oknum birokrat pemerintah yang kerjanya "hobi" menciptakan kesulitan bagi rakyat.
Masih cukup segar dalam ingatan soal BPJS. Persoalan yang ditimbulkan oleh BPJS, lembaga pemerintah, sudah demikian menggunung dan mengguncang.
Rakyat peserta program BPJS, terus mengeluh karena merasa dipersulit, tetapi instansi pemerintah yang terkait, seolah tidak mendengar apa yang jadi keluhan masyarakat.
Maksud saya mengaitkan registrasi ulang ponsel, jangan sampai menambah beban baru, setelah masalah BPJS tidak terselesaikan.
Dan jangan lupa, registrasi apapun saat ini, jika regulasinya mengacu pada data kependudukan, jelas akan sangat tidak mungkin.
Karena mayoritas penduduk saat ini, belum memiliki e-KTP. Skandal korupsi e-KTP, telah menyebabkan terhalangnya setiap kelurahan memberikan tanda pengenal kepada setiap warga yang berhak.
Cobalah introspeksi Pak Hartoyo.
Jika anda kebetulan seorang birokrat, buanglah jauh-jauh mental berupa “hobi” membuat peraturan yang hanya mempersulit warga.
Hobi itu kalau jadi mental, jelas tidak sehat dan tidak elok. [***]
Penulis adalah wartawan senior
Posting Komentar